Sunday, September 6, 2020

Sumber-sumber Hukum Islam

 Sumber-sumber Hukum Islam


    Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Islam merupakan agama yang tegas dan bijaksana dalam menetapkan suatu hukum. Hukuman itu juga tidak sembarang dibuat, melainkan melalui sumber-sumber yang telah ditetapkan. 

    Rachmat Syafe'i menyebutkan dalam bukunya yang berjudul "Ilmu Ushul Fiqih" bahwa sumber hukum islam terbagi menjadi 4, yaitu Al-Qur'an, Sunah, Ijma', dan Qiyas. Lebih detailnya, dibawah ini penulis akan menjelaskan satu per satu dari sumber hukum Islam tersebut. 




Al-Qur'an


    Sebagian para ulama mendefinisikan Al-Qur'an sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir. Tata urutan surat pada Al-Qur'an sendiri disususn sesuai dengan petunjuk yang langsung Allah berikan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. 

    Para ulama dan kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur'an merupakan sumber hukum Islam yang paling pokok, merekapun sepakat bahwa semua ayat Al-Qur'an dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath'i. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir.

    Imam Syaf'i berpendapat bahwa, Tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam Al-Qur'an" (Asy-Syafi'i, 1309:20). Oleh karena itu Imam Asy-Syafi'i senantiasa mencantumkan nash-nash Al-Qur'an setiap kali mengeluarkan pendapatnya.



Sunah


    Sunah jika diartikan dari segi bahasa berarti jalan yang bisa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk. Para ahli hadis juga mendefinisikan  bahwa sunah merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik dari perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.

    Rasulullah SAW pernah bersabda, yang artinya, "Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik didalam Islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya". (H.R. Muslim, Al-Khatib: 17).

Ijma'


   Ijma' menurut bahasa terbagi dalam dua arti, yang pertama bermaksud atau berniat, dan yang kedua kesepakatan terhadap sesuatu. Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan ijma'.

  Yang pertama, datang dari pengarang kitab Fushulul Bada'i, ia berpendapat bahwa Ijma' itu adalah kesepakatan semua Mujtahid dari ijma' umat Muhammad SAW dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara'. Yang kedua, datang dari Al-Kamal bin Hamam pengarang kitab Tahrir, yang berpendapat bahwa ijma' adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa ijma'  Nabi Muhammad SAW terhadap masalah syara'.

    Ijma' sendiri bisa terjadi bila sudah memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan, kriteria tersebut antaralain :
  • Disepakati oleh para Mujtahid
  • Para Mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW
  • Dilakukan setelah wafatnya Nabi
  • Kesepakatan harus berhubungan dengan syari'at


Qiyas


    Menurut bahasa, Qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya.  Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi dua golongan dalam mendefinisikan qiyas. Golongan yang pertama berpendapat bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan Mujtahid. sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa qiyas merupakaan ciptaan syari', yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat Syari' sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum.

    Namun secara umum, qiyas dapat diartikan sebagai suatu proses penyingkapan kesamaan huku suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illat-nya.

Pada dasarnya, qiyas digunakan jika sudah memenuhi unsur pokok (rukun) dari qiyas itu sendiri. Rachmat Syafe'i dalam bukunya yang berjudul Ilmu Ushul Fiqh menyebutkan ada empat rukun qiyas, keempat rukun tersebut antara lain.

    Pertama Ashl (Pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan. Kedua Far'u (Cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya. far'u inilah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ketiga Hukum Ashl, yaitu hukum syara', yang ditetapkan oleh suatu nash, Keempat illat, yaitu sifat yang terdapat pada ashl.

Friday, September 4, 2020

Penjelasan dan Ciri-ciri Mendasar Tentang Makkiyah dan Madaniyyah

Penjelasan dan Ciri-ciri Mendasar Tentang Makkiyah dan Madaniyyah






    Umat Islam pastinya sudah tidak asing lagi mendengar kata Makkiyah dan Mafaniyyah. Makkiyah dan Madaniyyah merupakan tempat dimana ayat-ayat Al-Qur'an diturunkan. Dalam artikel ini, penulis akan merincikan bagaimana Penjelasan dan Ciri-ciri Mendasar Tentang Makkiyah dan Madaniyyah.





Pendapat Para Ahli Tentang Makkiyah dan Madaniyyah


    Para ilmuan sarjana muslim mengungkapkan bahwa ada berbagai perspektif dalam mendefinisikan terminologi Makkiyah dan Madaniyyah, diantaranya adalah yang Pertama, dari perspektif masa turunnya, disebutkan bahwa Makiyyah adalah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, dan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah kendatipun bukan Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut Madaniyyah walaupun turun di Mekah atau Arafah.

    Kedua, dari perspektif tempat turunnya disebutkan bahwa Makkiyah adalah ayat-ayat yang turun di Mekah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah, dan Hudibiyyah. Sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba', dan Sul'a.




    Ketiga, dilihat dari objek pembicaraannya bahwa Makkiyah adalah ayat-ayat yang menjadi kitab bagi orang-orang Mekah, sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Madinah.

    Definisi diatas dirumuskan oleh para sarjana muslim berdasarkan asumsi bahwa kebanyakan ayat Al-Qur'an yang dimulai dengan ungkapan "ya ayyuha ala-naas" menajdi kriteria dari Makkiyah dan ungkapan "ya ayyuha Al-ladziina" menjadi kriteria dari Madaniyyah.

Cara Mengetahui Makkiyah dan Madaniyyah


    Para sarjana muslim juga telah melakukan dua pendekatan Untuk menetapkan serta mengetahui yang mana ayat-ayat Al-Qur'an yang termasuk dalam kategori Makkiyah dan Madaniyyah, kedua pendekatan tersebut antara lain :

  • Peratama, melalui pendekatan periwayatan, dengan melalui pendekatan ini para sarjana muslim merujuk kepada riwayat-riwayat yang berasal dari para sahabat, yaitu orang-orang yang besar kemungkinannya menyaksikan turunnya wahyu. Ataupun bisa melalui generasi tabiin yang saling berjumpa dan mendengar langsung dari para sahabat.
  • Kedua, melalui pendekatan Analogis (Qiyas), dalam melakukan pengkategorian Makkiyah dan Madaniyyah, para sarjana muslim penganut pendekatan analogi bertolak kepada ciri spesifik dari kedua klasifikasi itu, bila dalam surat Makkiyah terdapat sebuah ayat yang memiliki ciri-ciri khusus Madaniyyah maka itu termasuk surah Madaniyyah.

Ciri Spesifik dari Makkiyah dan Madaniyyah


    Dalam menentukan ciri-ciri yang lebih spesifik tentang Makkiyah dan Madaniyyah, para ahli sarjana muslim telah merumuskannya sebagai berikut :

  • Makkiyah

  1. Ayat-ayat dimulai dengan kata "kalla"
  2. Ayat-ayatnya mengandung tema kisah para nabi dan umat-umat terdahulu
  3. Dimulai dengan bacaan "ya ayyuha an-nas"
  4. tidak ada ayat yang dimulai dengan bacaan "ya ayyuha Al-ladzina"
  5. Ayatnya dimulai dengan huruf terpotong seperti "alif lam mim" dan sebagainya, kecuali surah Al-Baqarah [2] dan Ali-Imran [3].


  • Madaniyyah
  1. Mengandung ketentuan-ketentuan faraid dan had
  2. Mengandung sindiran tehadap kaum munafik, kecuali surah Al-Ankabut
  3. Mengandung uraian tentang perdebatan dengan ahli kitabin.

    Ciri umum lainnya juga disebutkan bahwa Makkiyah banyak menjelaskan tentang ibadah kepada Allah, penetapan risalah kenabian, penetapan hari kebangkitan dan pembalasan, uraian tentang hari kiamat, siksaan nekara dan kenikmatan surga. Selain itu Makkiyah juga mempunyai ciri yaitu ayat dan surahnya yang pendek-pendek.

    Sedangkan ciri umum lainnya pada Madaniyyah adalah banyak  emnjelaskan tentang permasalahan ibadah, muamalah, rumah tangga, warisan, keutamaan ijtihad, kehidupan sosial, serta persoalan tentang pembentukan hukum syara'. Selain itu, Madaniyyah juga mempunyai ciri yaitu ayatnya yang panjang-panjang.




REFERENSI :

Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur'an, Cet I, (Bandung : Pustaka Setia, 2007).

Manna' Al-Qaththan, Mabahits fi 'ulum Al-Quran, Mansyurat Al-'Ashr Al-Hadis, ttp., 1973.

Subhi Ash-Shalih, Mabahits fi 'Ulum Al-Qur'an, Dar Al-Qalam li Al-Malayyin, Bairut, 1988.

Wednesday, September 2, 2020

Sejarah Singkat Penulisan dan Penghimpunan Al-Qur'an

Sejarah Singkat Penulisan dan Penghimpunan Al-Qur'an 


    Al-Qur'an merupakan kitab suci bagi umat Islam yang diwahyukan Allah melalui malaikat Jibril dan disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur'an merupakan pedoman bagi seluruh umat Islam di muka bumi ini, karena didalamnya berisikan segala bentuk perintah maupun larangan yang difirmankan Allah SWT.

    Sebagai umat Islam, sudah semestinya kita wajib menjaga keutuhan ayat-ayat suci Al-Qur'an dengan cara membaca dan mengamalkan isi-isi yang ada didalam kandungan ayat Al-Qur'an tersebut, hal ini kita lakukan demi menunjukkan rasa cinta dan patuh kita kepada Allah SWT, serta menghargai jasa para pendahulu kita seperti para sahabat Rasulullah yang senantiasa menghimpun Al-Qur'an tanpa kenal lelah.

    Mengenai penghimpunan Al-Qur'an, didalam artikel ini penulis akan merangkum Sejarah Singkat Penulisan dan Penghimpunan Al-Qur'an pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya dahulu.





Al-Qur'an di Turunkan Secara Berangsur-angsur


    Pada zaman Rasulullah SAW, Al-Qur'an dirturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril tidak sekaligus, melainkan sesuai dengan kebutuhan. Seperti saat para sahabat melontarkan pertanyaan kepada Nabi Muhammad SAW, pada saat inilah wahyu sering turun untuk membantu Rasulullah SAW menjawab pertanyaan dari para sahabat.

Turunnya ayat Al-Qur'an secara benrangsur-angsur ini juga memiliki hikmah tersendiri, antara lain :

  • Pertama, Membantu Rasulullah SAW untuk memantapkan hati saat sedang berdakwah, karena dulu Rasulullah SAW sering berhadapan dengan para penentang yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dengan tujuan melemahlkan Nabi Muhammad SAW. Tetapi lewat wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, pertanyaan itu seolah berbalik menentang mereka, hal itu sekaligus merupakan salah satu mukjizat yang ada pada Al-Qur'an.
  • Kedua, Memudahkan untuk dihapal dan dipahami ditengah-tengah masyarakat yang pada saat itu sulit untuk memahami bacaan maupun tulisan karena kurangnya ilmu pengetahuan. Dengan turunnya wahyu secara berangsur-angsur ini masyarakat tersebut dapat lebih mudah untuk memahami sekaligus mengapalnya.

Penghimpunan Al-Qur'an Pada Masa Nabi Muhammad SAW


    Nabi Muhammad SAW sangat merindukan kedatangan wahyu kepadanya, sampai-sampai ketika wahyu itu datang Nabi Muhammad SAW langsung menghafal dan memahaminya. Tindakan itupun sekaligus menjadi suri teladan dan diikuti oleh para sahabatnya.

    Selain mengekspresikan kerinduannya terhadap wahyu yang diturunkan Allah dengan cara menghafal, Nabi Muhammad SAW juga mengkspresikannya dalam bentuk tulisan. Proses penulisan itu sendiri dibantu juga oleh para sahabat Rasulullah SAW, diantaranya Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar Ibn Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abban bin Sa'id, Khalid bin Sa'id, Khalid bin al-Walid, dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan.


    Kegiatan menulis Al-Qur'an itu tidak hanya dilakukan oleh ketujuh sahabat itu saja, para sahabat lainpun ikut membantu menulisnya. Pada saat itu, mereka menulis dengan menggunkan alat tulis yang sederhana berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.

    Menulis merupakan caara yang paling sempurna untuk mempresentsaikan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena jika hanya mengandalkan hapalan para sahabat saja tidak cukup, terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Oleh karena itu, adapun tujuan dari tulisan ini untuk menjaga agar tetap terpelihara keasrian ayat-ayat suci Al-Qur'an tersebut.

Penghimpunan Al-Qur'an Pada Masa Khalifah Abu Bakar


Abu Bakar adalah orang yang pertama kali menghimpun Al-Qur'an dalam satu mushaf. Pengumpulan tulisan Al-Qur'an itu dilakukannya pada tahun 12 H, tepat setelah berakhirnya perang Yamamah. Bukan tanpa alasan, Abu Bakar menghimpun Al-Qur'an karena pada saat itu, kelestarian Al-Qur'an sedang terancam akibat meninggalnya 700 orang sahabat penghafal Al-Qur'an pada saat perang Yamamah tersebut.

Dalam hal ini, Umar Ibn khaththab juga mempunyai peran penting, karena dialah yang mengusulkan kepada Abu Bakar untuk segera menghimpun Al-Qur'an dari berbagai sumber, baik dari hafalan maupun tulisan. Abu Bakar pun langsung memerintahkan  Zaid bin Tsabit untuk membantu menghimpun Al-Qur'an. Zaid bin Tsabit sendiri adalah salah seorang sekretaris Nabi Muhammad SAW.


Dalam melaksanaka tugasnya, Zaid menetapkan kriteria yang ketat untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Zaid tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan tanpa didukung tulisan. Sikap kehati-hatian Zaid dalam menghimpun Al-Qur'an juga atas dasar pesan dari Abu Bakar untuk Zaid dan Umar.

Proses penghimpunan yang ditugaskan kepada Zaid itupun dapat diselesaikannya dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H, pekerjaan itu juga dilakukan dibawah pengawasan Abu Bakar, Umar Ibn Khaththab, dan para tokoh sahabat yang lain. Setelah sempurna, kemudian lewat musyawarah, tulisan Al-Qur'an yang sudah terkumpul itu dinamakan menjadi "Mushaf".

Setelah Abu Bakar wafat, Al-Qur'an yang sudah dihimpun  itupun disimpan Khalifah Umar, dan ketika Umar wafat, mushaf itu dipercayakan Umar kepada Hafsah untuk menyimpannya. Hafsah sendiri merupakan istri dari Nabi Muhammad SAW.

 

 

Tuesday, September 1, 2020

Cara Efektif Meredakan Stres Yang Berlebihan Secara Islami

Cara Efektif Meredakan Stres Yang Berlebihan Secara Islami


    Stres merupakan respon normal yang terjadi dalam diri manusia akibat dari berbagai situasi yang dialami dalam dinamika kehidupan. Stres yang terjadi pada manusia menimbulkan banyak dampak negatif, diantaranya munculnya emosi, kecemasan, dan depresi.

    Selain itu, Stres yang berlebihan juga dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental. Stres juga dapat membuat jantung berdetak lebih cepat dan meningkatkan tekanan darah, jelas kondisi ini sangatlah tidak bagus karena bisa berakibat memicu penyempitan pembuluh darah dan meningkatkan kadar kolestrol.

    Setiap individu pasti mempunyai caranya sendiri untuk meredakan ataupun menghilangkan setres, berikut penulis akan merangkum cara efektif meredakan stres yang berlebihan :


Cara Efektif Meredakan Stres Yang Berlebihan




Perbanyak Berdzikir dan Mengingat Allah


    Dzikir tidak hanya dilakukan sebelum dan sesudah mengerjakan shalat saja, karena pada dasarnya dzikir merupakan aktivitas hati dalam mengingat Allah SWT secara terus menerus tanpa mengenal tempat dan waktu.

    Seseorang yang menjadikan seluruh aktivitas kehidupannya sebagai wujud dari dzikirnya tersebut, maka Allah SWT memberikan jaminan bahwa orang tersebut tidak akan mudah stres dalam hidupnya. Sebagai mana Allah berfirman dalam Q.S Al-Baqarah ayat 152, yang bunyinya :

فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِى وَلَا تَكْفُرُونِ


Artinya : 
"Karena itu, Ingatlah kamu kepadaku, niscaya aku ingat pula kepadamu, dan bersyujurlah kamu kepadaku, dan janganlah kamu mengingkari nikmatmu".

    Dengan demikian, dzikir bisa dijadikan terapi ampuh dalam mengatasi stres. Karena dzikir juga merupakan upaya kita untuk selalu mengingat Allah SWT. Dengan berdzikir, jiwa akan dikuatkan dan dibersihkan dari segala pikiran-pikiran negatif yang ada pada diri kita.

Pebanyaklah Membaca Al-Qur'an


Al-Qur'an merupakan petunjuk hidup bagi manusia. Membaca Al-Qur'an, tidak hanya mendapatkan petunjuk mengenai kebenaran di dalam kehidupan, tetapi membaca Al-Qur'an juga dapat meningkatkan ketenanggan dalam diri manusia.

Dalam beberapa firman-Nya, Allah SWT telah menunjukkan bahwa Al-Qur'an merupakan obat penawar bagi manusia, sebagaiamana dalam Q.S Al-Isra' ayat 82, yang bunyinya : 

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا


Artinya : 
"Dan, kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim, selain kerugian".


    Melalui ayat diatas, tak heran jika para ulama meyakini bahwa Al-Qur'an merupakan obat penawar bagi penyakit mental maupun fisik seseorang, karena dengan membaca Al-Qur'an seseorang akan dapat merasakan ketenangan dalam jiwanya.

    Tapi kita juga harus ingat, membaca Al-Qur'an tidak hanya saat kita memiliki masalah saja, melainkan kita juga harus membiasakan diri membacanya. Insyaallah, jika sudah terbiasa membaca Al-Qur'an, pikiran akan selalu tenang dan lebih tabah dalam menerima cobaan.

Selalu Khusnudzan (Positif Thinking)


    Khusnudzan adalah sikap dalam memandang sesuatu dengan kaca mata positif. Orang yang bersikap khusnudzan akan senantiasa dijauhkan dari kekecewaan yang dapat mengakibatkan stress. Karena pada dasarnya jika seseorang mampu bersikap khusnudzan maka dia senantiasa akan mempunyai mental yang kuat dan selalu percaya diri dalam menjalani kehidupannya.

    Islam menganjurkan kepada umatnya agar selalu menanamkan sifat khusnudzan (berbaik sangka), sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Hujarat ayat 12, yang bunyinya :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ


Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang". 

    Tak hanya khusnudzan kepada sesama manusia, kita juga harus ber-khusnudzan kepada Allah SWT dan diri kita sendiri, jika ketiga khusnudzan itu sudah teraplikasikan kedalam kehidupan kita, maka jaminan untuk mencapai kebahagiaan dan dijauhi rasa stres pun akan segera kita dapatkan.

Tingkatkanlah Ibadah Shalat


    Shalat memiliki peran penting terhadap umat Islam. Baik buruknya amal perbuatan seorang muslim tergantung pada shalat yang ia kerjakan. Shalat juga merupakan bentuk komunikasi kita dengan Allah SWT. Kita dapat memperoleh kenikmatan melalui shalat, jika kita melakukannya dengan niat dan bersungguh-sungguh (khusyuk).


    Manusia sebagai Makhluk ciptaan Allah, sudah sewajarnya mengerjakan apa yang diperintahkan Allah SWT untuk mendapatkan kebajikan dalam kehidupannya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-'Ankabut ayat 45, yang bunyinya :

ٱتْلُ مَآ أُوحِىَ إِلَيْكَ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ


Artinya :
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu (Al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya, shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan, sesungguhnya, mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan".

    Intinya, jika shalat yang kita lakukan sudah sesuai dengan syarat-syarat yang disyariatkan Islam dan dengan niat yang khusyuk dalam menunaikannya, maka kenikmatanpun akan datang dengan sendirinya kepada kita dan strespun perlahan-lahan mulai hilang.


Monday, August 31, 2020

Penjelasan Thaharah Beserta Dalilnya

Penjelasan Thaharah Beserta Dalilnya


    Thaharah adalah membersihkan tubuh dari kotoran ataupun hadast yang dapat menyebabkan tidak sahnya shalat ataupun kegiatan ibadah dalam Islam lainnya. Untuk lebih jelasnya lagi, penulis akan menjabarkan lebih rinci tentang Thaharah yang telah diambil dari beberapa sumber.





Pengertian Thaharah


    Thaharah menururt bahasa artinya membersihkan diri ataupun bersuci dari kotoran, hadast ataupun najis. Sedangkan menurut Syara' Thaharah adalah syarat sahnya shalat dengan cara membersihkan hadast yang ada di tubuh dengan air, jika tidak ada air boleh digantikan dengan tanah untuk bersuci.

Kajian Ayat Al-Qur'an Tentang Thaharah


Berkenaan dengan thaharah, Allah berfirman dalam surat Al-Ma'idah ayat 6, yang berbunyi :


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ


Artinya : 
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak menegerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali ddari tempat buang air (kakus) atu menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memeperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikamatnya bagimu, supaya kamu bersyukur".

Asbabun Nuzul Ayat


    Al-Qusyairi dan Ibn Atiyah mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kisah Aisyah ketika kehilangan pengikat timba untuk mengambil air wudu' dalam sebuah peperangan bersama dengan Rasulullah SAW.


    Lewat peristiwa itulah yang menyebabkan ayat ini turun untuk memberikan rukhsah (keringanan) bagi kaum muslimin untuk menjalankan aktivitas ibadahnya yang terkait debnagn wudu' dan mandi. Hal ini merupakan bukti besar bahwa Islam menginginkan kemudahan bagi kaum muslimin.

Kandungan Yang Terdapat Pada Ayat


    Kandungan dalam ayat ini menyatakan bahwa, Allah menyeru orang-orang yang beriman, apabila hendak mengerjakan shalat, maka mereka harus suci atupun bersih dari hadats, baik itu hadas kecil maupun hadast besar. 

    Sesuai dengan ayat diatas, cara yang diajarkan Allah untuk menghilangkan hadast kecil adalah dengan membasuh muka, tangan sampai dengan siku, dan menyapu kepala serta membasuh kaki sampai dengan kedua mata kaki.

    Lain halnya dengan bersuci dari hadas besar, bagi orang yang dalam keadaan Janabah (Keadaan berhadast besar) maka orang tersebut harus mandi Junub (Mandi wajib). 

    Adapun jika seseorang itu dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan atau menyentuh perempuan, tetapi tidak memperoleh air, maka Allah memberi keringanan untuk bertayamum dengan tanah yang baik (bersih). Sebagaimana dalam firman Allah yang artinya, "Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagimu supaya kamu bersyukur".

Pendapat Para Ulama Mengenai Thaharah


    Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Al Darimi mengutarakan pendapatnya dalam musnadnya, ia menyatakaan bahwa ketika seorang akan mengerjakan shalat, maka ia harus mengambil wudhu kembali, baik bagi orang yang berhadast maupun tidak.


    Lain halnya dengan pendapat Abdullah bin Hantalah bin Abi Amir Al-Gasil, dia berkata bahwa, "Seungguhnya Nabi Muhammad SAW memerintahkan berwudhu setiap hendak melaksanakan shalat, tetapi kaum muslimin merasa hal itu sangat, lalu Rasulullah SAW memerintahkan bersiwak dan tidak memerintahkan berwudhu kecuali bagi orang yang berhadas.

    Ada juga kelompok yang menyatakan bahwa perintah berwudhu setia hendak mengerjakan shalat bersifat nadab (sunnat) semata. Hal ini dibuktikan karena kebanyakan sahabat Nabi SAW berpendapat demikian.


History Ali bin Abi Thalib Sebagai Khalifah Ke Empat

History Ali bin Abi Thalib Sebagai Khalifah Ke Empat


    Ali bin Abi Thalib merupakan khalifah ke empat setelah wafatnya Utsman bin Affan. Ali bin Abi Thalib sendiri merupakan sepupu Nabi Muhammad SAW. Selain itu ia juga menjadi menantu Nabi Muhammad SAW karena Ali bin Abi Thalib menikahi putri Nabi Muhammad SAW yaitu Fatimah.

    Pengangkatan Ali sebagai khalifah tidak semulus seperti pengakatan khalifah sebalumnya. Ali di bai'at ditangah suasana hiruk pikuk atas meninggalnya khalifah sebelumnya yaitu Utsman bin Affan. Di bawah ini penulis akan menjabarkan bagaimana kisah pengangkatan khalifah Ali bin Abi Thalib serta bagaimana suasana pada masa kekhalifahaannya yang telah di ambil dari beberapa sumber.




Biografi Ali bin Abi Thalib


    Ali bin Abi Thalib lahir pada tanggal 13 Rajab 599 Masehi di daerah Hejaz yang berada di Mekkah. Ali bin Abi Thalib merupakan putra dari Abi Thalib Ibn Abdul Muthallib dan dia temasuk sepupu Nabi Muhammad SAW. Ali bin Abi Thalib juga merupakan menantu Nabi Muhammad SAW karena ia menikahi anak dari Nabi Muhammad SAW yaitu Fatimah.

    Ali bin Abi Thalib termasuk orang yang pertama kali masuk Islam dari golongan pria, ia masuk Islam pada saat usianya masih sangat muda. Ada yang pendapat yang mengatakan bahwa saat nabi menerima wahyu pertama, Ali bin Abi Thalib masih berusia 13 tahun, ada juga yang berpendapat saat itu usia Ali masih 9 tahun.


    Ali bin Abi Thalib adalah orang yang dipercayai sebagai penasihat pada zaman khalifah-khalifah sebelumnya, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan. Beliau diangkat menjadi penasihat karena menurut para sahabat Ali bin Abi Thalib adalah orang yang pandai dan bijaksana.

Pengangkatan Ali bin Abi Thalib Sebagai Khalifah


    Pembai'atan Ali bin Abi Thalib tidak semulus pembai'atan khalifah-khalifah sebelumnya, Ali bin Abi Thalib di bai'at di tengah pertentangan dan kekcauan yang terjadi pada umat Islam di Madinah akibat meninggalnya Utsman bin Affan.

    Kaum pemberontak yang membunuh Utsman bin Affan mendaulat Ali bin Abi Thalib untuk bersedia di bai'at menjadi khalifah. Sebelumnya kaum pemberontak mendatangi para sahabat satu persatu, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab. Mereka meminta agar salah satu diantara para sahabat tersebut untuk menjadi khalifah, namun para sahabat tersebut menolak.

    Tak hanya kaum pemberontak yang menginkan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, tetapi kaum Anshar dan Muhajirin juga meminta Ali bin Abi Thalib bersedia di bai'at menjadi khalifah. Tetapi Ali menolak, karena Ali mau agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan harus mendapat persetujuan dari para sahabat.

    Karena suasana yang sangat kacau pada saat itu, massa rakyat mengemukakan bahwa umat Islam harus segera memiliki pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali pun bersedia di angkat menjadi khalifah. Proses pembai'atan Ali bin Abi Thalib pada saat itu di mayoritasi oleh kaum Muhajirin dan Anshar, seta beberapa sahabat, seperti Thalhah dan Zubair 

Sejarah Singkat Masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib


    Pemerintahan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib kala itu sangat tidak stabil, pasalnya banyak pemberontakan yang terjadi dari kelompok kaum muslimin sendiri. Salah satunya adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Thalhah, Zubair dan Siti Aisyah. 

    Siti Aisyah bergabung dengah Thalhah dan Zubair untuk menentang khalifah ali dengan alasan penolakan Ali menghukum pembunuh Utsman. Muawiyah juga turut andil dalam pemberontaka ini, mereke berusaha untuk menurunkan kredibilitas khalifah di mata umat Islam dengan cara menuduh bahwa khalifah berada dibalik pembunuhan khalifah Utsman.


    Khalifah Ali bin Abi Thalib telah berusaha untuk menghindari peperangan yang terjadi, tetapi beliau tidak berhasil. Sampai pada akhirnya terjadi pertempuran antara pasukan Thalhah, Zubair, dan Aisyah melawan pasukan khalifah Ali bin Abi Thalib. Peperangan itu terjadi pada tahun 36 H. Thalhah dan Zubair terbunuh dalam peperangan itu pada saat mereka mencoba melarikan diri, sementara Aisyah dikembalikan ke madinah. 

    Banyak pemberontakan yang terjadi pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib, sampai pada akhirnya Ali bin Abi Thalib meninggal akibat  dibukul oleh Abdurrahman pengikut setia kaum Khawarij. Sebelumnya kaum Khawarij memeng sudah merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi Thalib.

    Aksi pembunuhan yang dilakakukan kaum Khawarij terhadap Ali bin Abi Thalib itu bermaksud untuk balas dendam atas kematian keluarga seorang wanita teman dari Abd Ar-Rahman Ibn Muljam yang terbunuh di Nahrawan.

REFERENSI :

Asy-Syalab, At-Tarikhu Al-Islami Wa-Alhadlii-atu Al-Islamiyah, Terj. Prof. DR. Muhtar Yahya
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Cet. ke-1, (Bandung : Pustaka Setia, 2008).






 

Sunday, August 30, 2020

Perjalanan Utsman bin Affan Sebagai Khalifah Ke Tiga

Perjalanan Utsman bin Affan Sebagai Khalifah Ke Tiga 


    Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abd Al-Manaf atau biasa kita kenal dengan sebutan Utsman bin Affan merupakan khalifah ketiga setelah Umar Ibn Khaththab. Beliau menjadi khalifah selama 12 tahun lamanya (644-656 M) dan merupakan khalifah yang paling lama memerintah dibandingkan dengan khalifah-khalifah lainnya.

    Selanjutnya dibawah ini penulis akan membahas lebih detail lagi tentang kekhalifahan yang terjadi pada masa Utsman bin Affan yang telah penulis rangkum dari beberapa referensi.




Riwayat Hidup Utsman bin Affan

    Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abd Al-Manaf (Utsman bin Affan) lahir pada tahun 576 M. Ibunya bernama Urwy bin Kuraiz bin Rabi'ah bin Habib bin Abdi Asy-syams bin Abd Al-Manaf. Utsman bin Affan berasal dari suku Quraisy sama halnya dengan Umar Ibn Khaththab, beliau masuk Islam pada umur 30 tahun atas ajakan Abu Bakar.

    Saat diangkat menjadi khalifah, Utsman bin Affan berusia tujuh puluh tahun. Utsman dijuluki Dzun Nurain, karena dia menakihai dua putri Rasulullah SAW secara berurutan setelah yang satu meninggal. Kedua putri Rasulullah SAW itu yakni Ruqayyah dan Ummi Kalsum. 


    Utsman bin Affan juga pernah mengikuti beberapa peperangan pada zaman Nabi Muhammad SAW diantaranya, perang Uhud, Khaibar pembebasan kota Mekah, Perang Thaif, Hawazin, dan Tabuk. Utsman bin Afaan tidak mengikuti perang Badar karena dia diperintahkan oleh Rasulullah untuk menunggu istrinya yang sedang sakit sampai meninggal.

Pengangkatan Utsman bin Affan Menjadi Khalifah

    Utsman bin Affan diangkat menjadi seorang khalifah lewat skema yang dibuat oleh Umar Ibn Khaththab. Sebelum meninggal, Umar Ibn Khaththab telah memanggil tiga calon penggantinya, yaitu utsman, Ali, Sa'ad Abi Waqqash. Sebelum itu, Umar Ibn Khaththab telah menunjuk 6 sahabat untuk menjadi dewan formatur, mereka adalah Ali, Utsman, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abd Qr-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Dewan formatur ini ditugasakan oleh Umar Ibn Khaththab untuk memilih penggantinya.

Ada tiga mekanisme yang ditentukan dalam memilih seorang khalifah saat itu, mekanismenya adalah :
  • Yang berhak menjadi seorang khalifah adalah orang yang dipilih langsung oleh anggota formatur dengan suara terbanyak.
  • Apabila suara tertinggi berimbang, maka Abdullah bin Umar yang berhak menentukannya.
  • Apabila campur tangan Abdullah bin Umar tidak diterima, calon yang dipilih oleh Abd Ar-Rahman bin Auf harus diangkat menjadi khalifah.
Pada saat Umar Ibn Khaththab wafat, Abd Ar-rahman langsung meminta pendapat kepada anggota formatur secara terpisah untuk membicarakan calon yang tepat untuk diangkat menjadi khalifah. Lewat musyawarah tersebut muncul dua kandidat kuat yaitu Utsman dan Ali.

Abd Ar-Rahman langsung bermusyawarah dengan masyarakat dan sejumlah pembesar di luar anggota formatur. Suara masyarakat kala itu terpecah menjadi dua kubu, Bani Hasyim mendukung Ali dan kubu Bani Umayyah mendukung Utsman.

Abd Ar-Rahman kemudian memanggil Ali dan Utsman secara bergantian untuk menanyakan kepada meraka, sanggupkah mereka melaksanakan tugasnya berdasarkan Al-Qur'an, Sunah Rasul, dan kebijaksanaan dua khalifah sebelumnya, seandainya salah satu diantara mereka terpilih menjadi seorang khalifah.


Ali menjawab bahwa dirinya berharap dapat berbuat sejauh pengetahuan dan kemampuannya. dan Utsman menjawab dengan tegas, "Ya, saya sanggup". Berdasarkan jawaban itu Abd Ar-Rahman menyatakan Utsman sebagai khalifah ketiga, dan segeralah dilaksanakan bai'at .

Kontribusi Utsman bin Affan Terhadap Islam

    Semasa hidupnya Utsman bin Affan terkenal sebagai orang yang saleh dan memliliki rasa sosial yang tinggi. Kesalehannya ini terbukti lewat tulisan Khalid Muh Khalid yang yang menyatakan bahwa untuk shalat dua rakaat saja, Utsman bisa menghabiskan waktu semalaman karena banyaknya ayat Al-Qur'an yang dibacanya. Keshalehan sosialnya juga terbukti ketika Utsman bin Affan membeli telaga Yahudi seharga 12.000 dirham dan menghibahkannya kepada kaum muslimin yang pada saat ia hijrah ke Yastrib.

    Tak hanya itu, Utsman bin Affan juga mewakafkan tanah seharga 15.000 dinar untuk perluasan Masjid Nabawi. Selain itu, beliau juga menyumbang 940 ekor unta, 60 ekor kuda, dan 10.000 dinar untuk keperluan Jaisul Usrah pada perang Tabuk.

    Setiap hari Juma'at, Utsman bin Affan juga membebaskan seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Utsman bin Affan juga menjual barang kebutuhan sehari-hari miliknya dedngan harga yang murah, bahkan ia membagi-bagikannya kepada kaum muslimin.






REFERENSI : 

Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997)
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Cet. ke-1, (Bandung : Pustaka Setia, 2008).

Friday, August 28, 2020

Biografi Umar bin Khaththab Khulafaur Rasyddin Kedua

Biografi Umar bin Khaththab Khulafaur Rasyddin Kedua


    Umar Ibn Khaththab merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Dia juga merupakan khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar As-Shiddiq. Umar dikenal sebagai tokoh yang bijaksana, kreatif dan jenius dalam membangun Negara besar yang ditegakkan atas prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

    Pada artikel kali ini penulis akan menjabarkan  kisah pengangkatan khalifah Umar Ibn Khaththab yang telah diambil dari beberapa sumber dan apa saja yang menjadi faktor pengakatan Umar Ibn Khaththab menjadi khalifah.




Proses Pengangkatan Umar Ibn Khaththab Menjadi Khalifah

    Umar Ibn Khaththab ditunjuk oleh Abu Bakar untuk menjadi khalifah saat Abu Bakar kala itu dimasa jabatannya sedang jatuh sakit. Penunjukan ini tidak diambil oleh sepihak saja, tetapi juga lewat rekomendasi dan saran yang telah disepakati oleh umat.

    Dalam mencari penggantinya, Abu Bakar mengadakan musyawarah ataupun konsultasi dengan beberapa orang sahabat, antara lain, Abdul Rahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Asid bin Hadhir, seorang tokoh Anshar. Dalam musyawarah tersebutlah Umar Ibn Khaththab terpilih secara objektif oleh para sahabat.

    Tidak cukup sampai disitu, hasil dari musyawarah tersebutpun langsung disampaikan kepada kaum muslimin yang sedang berkumpul di Masjid Nabawi untuk mencapai kesepakatan. Alhasil kaum Muslimin menerima dan menyetujui orang yang telah dicalonkan oleh Abu Bakar yaitu Umar Ibn Khaththab. Setelah Abu Bakar mendapat persetujuan dari kaum Muslimin atas pilihannya, ia langsung memanggil Utsman bin Affan untuk menuliskan teks pengangkatan Umar (bai’at Umar).

Faktor Terpilihnya Umar Ibn Khaththab Menjadi Khalifah

    Sebelumnya, Umar Ibn Khaththab termasuk diantara kaum kafi Quraisy yang paling ditakuti oleh orang-orang yang masuk Islam. Beliau merupakan musuh terbesar dan orang yang sangat membeci Nabi Muhammad SAW. Bahkan sanagat besar keinginannya untuk bisa membunuh Nabu Muhammad SAW dan pengikut-pengikutnya.

    Kepribadian Umar bertolak belakang setelah kepindahannya masuk agama Islampada bulan Dzulhijjah, enam tahun setelah kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dia menjadi seorang yang setia membela agama Islam dan bahkan dia menjadi sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW kala itu.


    Umar Ibn Khaththab merupakan khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar Ibn Khaththab ditunjuk langsung oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk menggantikannya sebagai seorang khalifah pada masa itu. Penunjukkan ini bukan tanpa sebab, ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar Ash-Shiddiq menunjuk Umar Ibn Khaththab menjadi khalifah setelahnya. Faktor-faktor tersebut antara lain :

  • Kekhawatiran peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Sa'idah yang nyaris menyeret umat Islam ke jurang perpecahan akan terulang kembali, bila ia tidak menunjuk seorang yang akan menggantikannya.
  • Kaum Anshar dan Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak menjadi khlifah.
  • Umar Islam pada saat itu baru saja selesai menumpas kaum murtad dan pembangkang, sementara pasukan mujahidin sedang bertempur di luar kota Madinah melawan tentara Persia di satu pihak dan tentara Romawi di pihak lain.

Konflik Yang Terjadi Pada Masa Pemerintahan Umar Ibn Khaththab

    Dalam masa kekhalifahannya, Umar Ibn Khaththab berhasil membebaskan negeri-negeri jajahan Imperium Romawi dan Persia yang dimulai dari awal pemerintahannya, bahkan sejak pemerintahan sebelumnya. Segala macam tindakan dilalukan untuk menghadapi dua kekuatan itu, tujuannya bukan hanya menyangkut urusan agama saja, namun juga untuk kepentingan politik.


    Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi timbulnya konflik antara umat Islam dengan bangsa Romawi dan Persia yang pada akhirnya mendorong umat Islam melakukan penaklukan negeri Romawi dan Persia, faktor tersebut antara lain :
  • Bangsa Romawi dan Persia tidak menaruh hormat terhadap maksud baik Islam.
  • Semenjak Islam masih lemah, Romawi dan Persia selalu berusaha mengahncurkan Islam.
  • bangsa Romawi dan Persia sebagai Negara yang subur dan terkenal kemakmurannya, tidak berkenan menjalin hubungan perdagangan dengan negeri-negeri Arab.
  • Bangsa Romawi dan Persia bersikap ceroboh menghasut suku-suku Badui untuk menentang pemerintahan Islam dan mendukung musuh-musuh Islam.
  • Letak geografis kekuasaan Romawi dan Persia sangat strategis untuk kepentingan kemanan dan pertahanan Islam.
    Semenjak penaklukan Persia dan Romawi, pemerintahan Islam menjadi adikuasa dunia yang memiliki wilayah kekuasaan luas, meliputi semenanjung Arabia, Palestina, Siria, Irak, Persia dan Mesir.



REFERENSI :

Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Cet. ke-1, (Bandung : Pustaka Setia, 2008).
Amir Nurdin, Ijtihad Umar Ibn Al-Khaththab, (Jakarta : Rajawali Press, 1991).




Thursday, August 27, 2020

Pendapat Para Ulama Tentang Masalah Hukum Onani

Pendapat Para Ulama Tentang Masalah Hukum Onani

    Banyak yang bertanya-tanya, bagaimana hukum onani dalam agam Islam, apakah onani termasuk pebuatan haram, makruh, mubah. Dan apakah perbuatan itu termasuk dosa, dosa kecilkah atau dosa besar. Dalam artikel kali ini penulis akan merangkum beberapa pendapat para ulama yang tentang bagaimana hukum onani dalam Islam.

Pendapat Para Ulama Tentang Masalah Onani


    Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum onani. Sebagian ulama mengatakan bahwa onani hukumnya haram, sebagian yang lain mengatakan haram dalam suatu keadaan dan wajib dalam keadaan yang lain. sebagian yang lain mengatakan makruh.

    Diantara ulama yang mengatakan haram adalah aliran mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan Pengikut Zaid. Alasannya adalah Allah telah menyuruh manusia untuk menjaga farji dalam segala keadaan, kecuali untuk mendatangi istri atau budak yang menjadi miliknya. Jadi, jika ada laki-laki melampaui yang melampaui batas dari kedua keadaan tersebut dengan cara onani, maka ia termasuk orang yang melampaui batas. Allah SWT, berfirman:


وَالَّذِيۡنَ هُمۡ لِفُرُوۡجِهِمۡ حٰفِظُوۡنَۙاِلَّا عَلٰٓى اَزۡوَاجِهِمۡ اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُهُمۡ فَاِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُوۡمِيۡنَ‌ۚ‏ فَمَنِ ابۡتَغٰى وَرَآءَ ذٰ لِكَ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡعٰدُوۡنَ‌


Artinya: "Dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa mencari dibalik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas". (QS.Al-Mu'minun {23}: 5-7).

Menurut Mazhab Hanafi 

    Mazhab Hanafi mengatakan bahwa onani dengan tangan itu haram dalam suatu keadaan dan wajib dalam suatu keadaan lainnya. Menurut mereka, andai seseorang dikhawatirkan akan berbuat zina, ia wajib menyalurkan nafsu seksualnya dengan onani. pendapat ini mengikuti akidah yang menyatakan bahwa, "jika berkumpul dua bahaya, maka wajiblah kalian mengambil bahaya yang paling ringan".

    Jadi, onani dengan tangan sendiri menurut mazhab Hanafi tidak berdosa saat seorang tidak bisa lagi mengendalikan ataupun menahan syahwatnya, sedangkan dirinya juga belum mempunyai istri maupun budak yang dimilikinya. 

Menurut Mazhab Hambali

    Selain mazhab Hanafi, Mazhab Hambali berpendapat hampir sama dengan Mazhab Hanafi, mereka berpendapat bahwa onani dengan tangan sendiri haram, kecuali takut akan berbuat zina dan merusak kesehatan, sedangkan ia adalah seorang yang belum beristri dan tidak mempunyai budak untuk memuaskan syahwatnya, selain itu dia juga tidak mampu menikah. 

Menurut Ibn Hazm

    Ibnu Hazm berbeda pendapat terkait masalah onani ini, beliau berpendapat bahwa onani hukumnya makruh dan berdosa. alasannya adalah menurut Ibnu Hazm onani diharamkan karena dapat merusak unsur etika dan akhlak yang terpuji.


    Dari beberapa pendapat ulama diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa onani dilakukan untuk meredakan ataupun menenangkan syahwat seseorang, tetapi jika onani dilakukan dengan sengaja untuk merangsang dan membangkitkan syahwat, maka hukumnya menjadi haram.

    Demikian artikel ini dibuat, dengan referensi yang ada dan dengan maksud untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi para pembaca, dan semoga apa yang terselipkan didalam tulisan-tulisan ini menjadi nilai dan wawasan yang baru bagi para pembaca.


REFERENSI :
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung : Pustaka Setia, 2013).

Wednesday, August 26, 2020

Homoseksual, Pengertian, Faktor, dan Penyebabnya

Pengertian, Faktor, dan Penyebab Homoseksual

    
    Dari tahun ke tahun semakin banyak saja kasus-kasus Homoseks yang muncul, entah apa yang dirasakan pelaku saat melakukan hal tersebut. Padahal sudah sejara jelas dalam hal itu sangat dilarang oleh agama dan hukumnya haram.

    Dalam artikel kali ini penulis akan menjelaskan apa yang dimaksud Homoseks, penyebab umum orang yang melakukan homoseks, akibat dari tindakan Homoseks dan bagaimana pendapat para ulama mengenai hal ini :



Pengertian Homoseks

    Homoseks adalah perbuatan yang sangat keji dan termasuk dosa besar. Homoseks merupakan hubungan seks dengan sesama jenis yang dilakukan oleh laki-laki dengan laki-laki. Homoseks juga merupakan salah satu perbuatan yang dapat merusak unsur fitrah kemanusiaan, etika, Agama, bahkan juga dapat merusak kesehatan jiwa seseorang. 

Allah sangat melaknat orang yang melakukan perbuatan ini, sebagai Allah telah menerangkannya dalam Al-Qur'an (QS. Al-A'raf (7): 80-84) :

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (٨٠) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (٨١) وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (٨٢) فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ (٨٣


Artinya:
"Dan (kami juga telah mengutus) Lut, ketika dia berkata kepada kaumnya, "mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun sebelum kamu (di dunia ini). Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan perempuan. kamu benar-benar kaum yang melampaui batas". Dan jawaban kaumnya tidak lain hanya berkata, "Usirlah mereka (Lut dan pengikutnya) dari negerimu ini, mereka adalah orang yang menganggap dirinya suci". Kemudian kami selamatkan dia dan pengikutnya, kecuali istrinya. Dia (istrinya) termasuk orang-orang yang tertinggal. Dan kami hujani mereka dengan hujan (batu). Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang telah berbuat dosa itu". (QS. Al-A'raf (7): 80-84).



Faktor Timbulnya Hasrat Untuk Melakukan Homoseks

    Orang yang Homoseks pada umumnya lemah dan tidak mempunyai hawa nafsu, serta tidak punya unsur batin yang dapat mengendalikan perbuatannya. Orang yang Homoseks umumnya berakhlak jelek, tabiatnya bejat, serta tidak dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk. 

Hasrat untuk melakukan Homoseks timbul dalam berbagai macam pengaruh diantaranya
  • Rasa benci seorang laki-laki terhadap perempuan sehingga memilih sesama jenisnya untuk dijadikan pasangan
  • Trauma ataupun frustasi yang dialamai oleh seoarang lelaki tersebut akibat masalalunya yang disakiti ataupun dikhianati oleh perempuan, sehinggga lebih memilih sesama jenis untuk menjalin hubungan.
  • Tidak ingin memiliki keturunan sehingga bercinta dengan sesama jenis.

Akibat Yang Ditimbulkan Bagi Penderita Homoseks

    Homoseks dapat merusak jiwa seseorang karena seorang yang menderita Homoseks akan merasakan adanya kelainan-kelaianan perasaan terhadap kenyataan dirinya. Dalam perasaanya, ia merasa sebagai seorang wanita padahal organ tubuhnya laki-laki, sehingga ia lebih simpati atau jatuh cinta kepada orang yang sejenis dengan dirinya untuk  pemuasan libido seksualnya. Ada beberapa akibat yang dialami pelaku Homoseks, yaitu :
  • Terjadi syndroom atau himpunan gejala penyakit mental yang disebut neurasthenia (penyakit lemah saraf)
  • Depresi mental yang mengakibatkan lebih suka menyendiri dan mudah tersinggung sehingga tidak dapat merasakan kebahagiaan hidup.
  • Dapat memengaruhi otak sehingga kemampuan berfikir menjadi lemah, ia hanya dapat berfikir secara global, daya abstraksinya berkurang, dan minatnya juga sangat lemah sehingga secara umum dapat dikatakan otaknya menjadi lemah.


Pendapat Ulama Tentang Homoseks

Sa'id bin Musayyab, Atha bin Abi Rabah, Hasan, Qatadah, Nakha'i, Tsauri, Auza'i, Abu Thalib, Imam Yahya, dan Imam Syafi'i (Dalam Satu Pendapat), bahwa pelaku Homoseks harus dirajam atau dijilid sebagaimana pelaku zina. jadi, pelaku homoseks yang masih jejaka dijatuhi hukuman had dera dan dibuang. 

Adapun pelaku Homoseks yang Mushan dijatuhi hukuman rajam. Pendapat ini berdasarkan dalil bahwa Homoseks adalah perbuatan yang sejenis dengan Zina. Karena perbuatan Homoseks itu memasukkan farji (penis) ke farji (anus laki-laki), kedua pelaku sama-sama masuk dibawah keumuman dalil dalam masalah Zina, baik Mushan maupun tidak.

Namun pada umumnya, ulama Fiqh telah sepakat atas keharaman Homoseks dan penghukuman terhadap pelakunya dengan hukuman yang berat. Hanya, diantara ulama tersebut ada perbedaan pendapat dalam menentukan ukuran hukuman yang ditetapkan untuk menghukum pelakunya, yaitu:
  • Pelaku harus dubunuh secara mutlak
  • Pelaku harus di had sebagaimana had Zina. Jadi, jika pelakunya masih jejaka, ia harus didera. jika pelakunya mushan, ia harus dirajam.
  • pelakunya harus diberi sanksi.


REFERENSI :

Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung : Pustaka Setia, 2013).

Saturday, August 15, 2020

Kedudukan Wali Dalam Pernikahan Pengertian dan Syarat-syaratnya

Kedudukan Wali Dalam Pernikahan Pengertian Syarat, Serta Tata Tertibnya

    Manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri.

    Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai tanpa suatu halangan apapun. Melalui artikel ini penulis coba menjelaskan sedikit tentang pengertian, syarat, serta kedudukan wali dalam pernikahan menurut perspektif Islam.

Kedudukan Wali dalam Pernikahan


1. Pengertian Wali Dalam Pernikahan

    Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria). Wali dalam nikah adalah orang yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).[1]

    Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.

2. Fungsi Wali Dlam Pernikahan

    Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal), maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan wanita, walaupun ia dimintakan persetujuannya oleh walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri.

    Suatu perkawinan sangat mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan seseorang. Dan dengan adanya anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering mendahulukan perasaan daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat melakukan sesuatu yang menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa walinya.

    Disamping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuanlah yang mengucapkan ijab (penawaran), sedang pengantin laki-laki yang diperintahkan mengucapkan qabul (penerimaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrahnya) adalah pemalu (isin-Jawa), maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya. Hal ini berarti bahwa fungsi wali dalam pernikahan adalah untuk menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucapkan ijab dalam akad nikahnya.

3. Macam-macam Wali dalam Pernikahan

Secara umum wali dalam pernikahan terdapat 3 macam, yaitu :

  • Wali Nasab
    Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Imam Syafi`I berpendapat bahwa anak laki-laki tidak termasuk ashabah seorang wanita. Menurut Imam Syafi`i, suatu pernikahan baru dianggap sah, bila dinikahkan oleh wali yang dekat lebih dulu. Bila tidak ada yang dekat, baru dilihat urutannya secara tertib. Maka selanjutnya bila wali jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali.[2] Wali nasab urutannya adalah sebagai berikut:
Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas.
Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak).
Saudara laki-laki sebapak.
  1. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
  2. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
  3. Paman (saudara dari bapak) kandung.
  4. Paman (saudara dari bapak) sebapak.
  5. Anak laki-laki paman kandung.
  6. Anak laki-laki paman sebapak.[3]

  • Wali Hakim

Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila:

  1. Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
  2. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya..
  3. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
  4. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
  5. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
  6. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
  7. Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
  8. Walinya gila atau fasik.
    Namun berdasarkan dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama Republik Indonesia sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.

  • Wali Muhkam

    Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki. 
    Adapun cara pengangkatannya secara tahkim adalah: calon suami mengucapkan tahkim, “Saya angkat Bapak/Saudara untuk menikahkan saya pada si … (calon istri) dengan mahar dan putusan Bapak/Saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, “Saya terima tahkim ini.”. Wali muhakam terjadi apabila:
  1. Wali nasab tidak ada,
  2. Wali nasab gaib atau bepergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada wakilnya di situ.
  3. Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).
  • Wali Maula
    Wali maula, yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan di sini yang dimaksud terutama adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.

    Mayoritas ulama berpendapat bahwa urutan wali adalah sebagai berikut, Ayah, Kakek ke atas kemudian Anak Laki-laki,  Cucu dari anak laki-laki, kearah bawah. Kemudian saudara laki-laki (kandung atau Seayah)  dan anak-anak  mereka.  Kemudian Saudara laki-laki Ayah, kemudian anak-anak mereka.

    Ada perbedan pendapat di kalangan ulama pada beberapa keadaan , sebagai berikut: Sebagian ulama mendahulukan perwalian anak laki-laki (bagi janda) dibanding ayah, Sebagaimana mereka juga lebih di dahulukan di dalam mendapat sisa harta warisan (ashobah). Ini pendapat yang lebih dikenal dari pendapat Malik, Dan juga ini pendapat Ishaq, Al-Anbary, Ibnul Mundzir, Abu Yusuf, Abu Hanifah Rahimahumullah Dan Mayoritas ulama menjawab pendapat ini dengan jawaban bahwa seorang ayah lebih paham tentang maslahat untuk puterinya dibanding anak wanita tersebut dan yang kedua bahwa perwalian ayah telah tsabit ditetapkan dalam syariat ketika sang wanita tersebut masih belum memiliki anak, maka dibutuhkan dalil untuk mengubah urutan perwalian ini. Dan pendapat mayoritas ulama lebih kuat, dan ini adalah pendapat Ibnu Utsaimin  Rahimahullah.

    Adapun apabila wanita tersebut tidak memiliki wali Ashobah baik dari Nasab maupun dari wali yang dahulu membebaskannya dari perbudakan, maka para ulama juga berbeda pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa walinya adalah Hakim, ini adalah pendapat Malik, Ahmad, Asy-Syafi’I, dan juga satu riwayat dari Abu HanifahRahimahumullah. Dan ini adalah pendapat yang benar, berdasarkan Hadits :

فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

Artinya :“Maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 2709 ).


4. Syarat-syarat Wali dalam Pernikahan

Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :
  • Islam
    Wali harus seorang Muslim, telah dinukil Ijma’ oleh Ibnul Mundzir dalam perkara ini.  Berdasakan Firman Allah ta’ala :

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

Artinya :“Dan laki-laki yang beriman dan wanita-wanita yang beriman sebagian adalah pemimpin bagi yang sebagian lainnya” (QS. At-Taubah : 71)

 وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلً

Artinya : “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141).
  • Baligh
    Ini adalah pendapat Jumhur Ulama dan ini adalah pendapat yang Shohih. Karena Allah Azza wa jalla telah membatasi anak-anak yang belum baligh di dalam Menggunakan hartanya maka perkara perwalian pernikahan lebih tinggi dibandingkan perwalian harta.
  • Berakal
Yang pastinya syarat menjadi wali adalah orang tersebut harus berakal.
  • Laki-laki
    Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda “wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya”(HR. Ibnu Majah dan Daruquthni ).
  • Adil
    Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.[4]  Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW yang  Artinya: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (HR.Ahmad Ibn Hanbal).
  • Tidak Sedang Ihram atau Umrah
    Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut : Syarat-syarat wali ialah: merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam.

    Pada dasarnya wali Nikah adalah orang yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikah tanpa adanya wali. Kedudukan Wali Nikah ialah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah tanpa wali laki-laki.


REFERENSI : 

[1] Abdurrahman Al Jaziri, Al- Fiqh ‘ala Mazaahib Al- Arba’ah, Beirut : Daar Al- Fikr, Juz 4, hal.29.
[2] Slamet Abidin, dkk, FIQIH MUNAKAHAT, Bandung : Pustaka Setia, 1999 hal.90.
[3] M. Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Empat Mazhab, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996, hal. 55.
[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995, jilid. 2, hal.82.

Thursday, August 13, 2020

Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq Menjadi Khalifah

Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq Menjadi Khalifah   

    Kata “khalifah“ diambil dari bahasa Arab, yang secara harfiah berarti seseorang yang menggantikan kedudukan orang lain karena hilang atau meninggal dunia. Dalam konteks masyarakat Islam kata khalifah berarti pemimpin umat yang menggantikan posisi Rasulullah Saw sebagai pemimpin politik, militer dan segala urusan umat Islam. Sementara itu, kata “Rasyidin” lebih ditekankan pada empat khalifah pasca Rasulullah Saw. Mulai dari Abu Bakar Ash-Shiddiq sampai Ali Ibn abi Thalib yang dipandang sebagai tokoh Islam yang mengagumkan dan adil. Dalam pembahasan ini dibahas secara terperincih salah satu khalifah, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq.



1. Biografi Abu Bakar As-Shiddiq

    Abu bakar ash-shiddiq (nama lengkapnya Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah bin Utsman bin Amr bin Masud bin Taim bin Murrah bin ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr At-Taimi Al-Qurasyi. Berarti silsilahnya dengan nabi bertemu pada Murrah bin ka’ab). Dilahirkan pada tahun 573 M. dia dilahirkan di lingkungan suku yang sangat berpengaruh dan suku yang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar. Ayahnya bernama Utsman (Abu Kuhafah) bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Saad bin Laym bin Mun’ah bin Ka’ab bin Lu’ay,berasal dari suku Quraisy, sedangkan ibunya bernama Ummu Al-Khair Salmah binti Sahr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym bin Murrah. Garis keturunannya bertemu pada neneknya, yaitu Ka’ab bin Sa’ad.

    Abu bakar merupakan orang yang pertama kali masuk Islam ketika Islam mulai didakwakan. Baginya, tidaklah sulit untuk mempercayai ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW. Dikarenakan sejak kecil, ia telah mengenal keagungan Muhammad. Setelah masuk Islam, ia tidak segan untuk menumpahkan segenap jiwa dan harta bendanya untuk Islam. Tercatat dalam sejarah, dia pernah membela Nabi tatkala Nabi disakiti oleh suku Quraisy, menemani Rasul Hijrah, membantu kaum yang lemah dan memerdekakannya, seperti terhadap Bilal, setia dalam setiap peperangan dan lain-lain.

2. Awal Mula Abu Bakar di Angkat Menjadi Khalifah

    Pengorbanan Abu Bakar terhadap Islam tidak dapat diragukan. Ia juga pernah ditunjuk Rasul sebagai penggantinya untuk mengimami shalat ketika Nabi sakit. Nabi Muhammad SAW pun wafat tak lama setelah kejadian tersebut. Karena tidak ada pesan mengenai siapa penggantinya di kemudian hari, pada saat jenazah Nabi belum dimakamkan di antara umat Islam, ada yang mengusulkan untuk cepat-cepat memikirkan pengganti Nabi. Itulah perselisihan pertama terjadi pasca Nabi wafat. Perselisihan tersebut berlanjut ke perselisihan kedua saqifah Bani Sa’idah, pada kaum Anshar ini menunjukkan bahwa kaum Anshar lebih memiliki rasa kepedulian dalam hal berpolitik dibandingkan kaum Muhajirin.[1]

    Aturan-aturan yang jelas tentang pengganti Nabi tidak ditemukan, yang ada hanyalah sebuah mandate yang diterima Abu Bakar menjelang wafatnya Nabi untuk menjadi badal imam shalat. Sesuatu yang masih merupakan tanda Tanya terhadap mandate tersebut.

Baca Juga : Biografi Umar bin Khaththab Khulafaur Rasyddin Kedua

    Dalam pertemuan tersebut, sebelum kaum Muhajirin datang, golongan Khajraz telah sepakat mencalonkan Salad bin Ubadah, sebagai pengganti Rasul. Akan tetapi, suku Aus belum menjawab atas pandangan tersebut, sehingga terjadilah perdebatan di antara mereka dan pada akhirnya, Sa’ad bin Ubadah yang tidak menginginkan perpecahan mengatakan bahwa ini merupakan awal dari perpecahan. Melihat situasi yang memanas, kemudian Abu Ubaidah mengajak kaum Anshar agar bersikap tenang dan toleran, kemudian Basyir bin Sa’ad Abi An-Nu’man bin Basyir berpidato dengan mengatakan agar tiddak memperpanjang masalah ini. Dalam keadaan yang sudah tenang ini, Abu Bakar berpidato, “ini Umar dan Abu Ubaidah, siapa yang kamu kehendaki di antara mereka berdua, maka bai’atah”.

    Baik Umar maupun Abu Ubaidah merasa keberatan ataas ucapan Abu Bakar dengan mempertimbangkan berbagai alasan, diantaranya adalah ditunjuknya Abu Bakar lebih berhak sebagai pengganti Rasul dalam imam shalat dan ini membuat Abu Bakar lebih berhak menjadi pengganti Rasulullah SAW. Sebelum keduanya membai’at Abu Bakar, Basyir bin Sa’ad mendahuluinya, kemudian diikuti Umar dan Abu Ubaidah secara serentak oleh semua hadirin.

    Dari paparan diatas, terlihat bahwa Abu Bakar dipilih secara aklamasi, walaupun tokoh-tokoh lain tidak ikut membai’atnya, misalnya Ali bin Abi Thalib Abbas, Thalhah, dan Zubair yang menolak dengan hormat. Keadaan penolakan tersebut akhirnya baru muncul setelah pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Kelompok lain yang tidak menyetujuinya ialah Anshar Salad bin Ubadah meskipun pada akhirnya tenggelam dalam sejarah. Pembahasan tentang khalifah ini pada akhirnya menimbulkan berbagai aliran pemikiran dalam islam. Dengan terpilihnya Abu Bakar serta pembai’atannya, resmilah berdiri kekhalifahan pertama didunia Islam.


3. Peradaban Islam Pada Masa Abu Bakar


    Bentuk peradaban yang paling besar dan luar biasa dan merupakan satu kerja yang dilakukan pada masa pemerintahan Abu Bakar adalah penghimpunan Al-Qur’an. Abu Bakar memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk menghimpun Al-Qura’an dari pelepah kurma, kulit binatang, dan dari hapalan kaum muslimin. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menjaga kelestarian Al-Qur’an pada perang yamamah. Umarlah yang mengusulkan pertama kali penghimpunan Al-Qur’an ini. Sejak itulah Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf. Inilah untuk pertama kalinya Al-Qur’an dihimpun. 

    Selain itu, peradaan Islam yang terjadi pada praktik pemerintahan Abu Bakar Dalam bidang pranata social ekonomi Mewujudkan keadilan dan kesejahteraan social rakyat. Untuk kemaslahatan rakyat ini, ia mengelola zakat, infak, dan sedekah yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah harta rampasan perang dan jizyah dari warga Negara non-muslim, sebagai sumber pendapatan Baitul Mal. Penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapat negara ini dibagikan untuk kesejahteraan para tentara, gaji para pegawai Negara, dan kepada rakyat yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar sebagai khalifah tidak pernah mengambil atau menggunakan uang dari Baitul Mal. Karena menurutnya, ia tidak berhak mengambil sesuatu dari Baitul Mal umat Islam. Oleh Karena itu, selama ia menjadi khalifah, ia tetap berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.

    Hal lain yang terjadi pada peradaban Islam pada masa Abu Bakar adalah ia telah mensuksesi kepemimpinan dalam menunjuk Umar bin Khathab sebagai penggantinya Ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar untuk menunjuk atau mencalinkan Umar menjadi khalifah. Factor utama adalah kekhawatirannya akan terulang kembali peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Saidah yang nyaris menyulut umat Islam ke jurang perpecahan, bila tidak menunjuk seseorang yang akan menggantikannya. Pada saat itu, antara kaum Anshar dan Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak untuk menjadi khalifah. Lagi pula, pada saat itu, umat Islam dibawah pimpinannya baru saja selesai menumpas kaum murtad dan sebagian pasukan mujahidin sedang bertempur di luar kota Madinah. Jika umat Islam terpecah dalam situasi demikian dalam memperebutkan jabatan khalifah, tentu akibatnya lebih fatal daripada menghadapi soal pemberontakan orang-orang murtad. 
   
   Jadi, dengan jalan penunjukkan itu, ia ingin ada kepastian yang akan menggantikannya sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi menimpa umat Islam. Artinya, dari segi politik dan pertahanan keamanan bila pergantian pimpinan tiba saatnya. Mengapa pilihannya jatuh kepada Umar? Karena menurut pendapatnya, Umar adalah sahabat senior yang mampu dan bijaksana memimpin Negara. Lagi pula, Umar disegani oleh rakyat dan mempunyai sifat-sifat terpuji. Penunjukkan itu terjadi ketika Abu Bakar mendadak jatuh sakit pada tahun ketiga masa jabatannya.[2]

4. Wafatnya Abu Bakar As-Shiddiq


    Abu Bakar meninggal pada 23 Agustus 634 Masehi dalam usia 63 Tahun, dan ke-Khalifahannya berlangsung selama 2 tahun 3 bulan 11 hari. Jenazahnya dimakamkan disamping makam Nabi.

    Pada waktu akhir perjalanan hidupnya, Abu Bakar bertanya kepada petugas Baitul Mal, berapa jumlah yang telah ia ambil sebagai uang tunjangan. Petugas itu memberi tahu bahwa beliau telah mengambil 6.000 dirham selama dua setengah tahun kekhalifahannya. Ia lalu memerintahkan agar tanah miliknya dijual dan seluruh hasilnya diberikan kepada Baitul Mal. Amanatnya sebelum mangkat itu telah dilaksanakan. Dan untuk seekor unta dan sepotong baju seharga seperempat rupee milik pribadinya, ia amanatkan agar diberikan kepada khalifah baru setelah ia meninggal dunia. Ketika barang-barang tersebut dibawa kepada yang berhak, Umar yang baru saja menerima jabatan sebagai khalifah mengeluarkan air mata dan berkata, “Abu Bakar, engkau telah membuat tugas penggantimu menjadi sangat sulit”.

    Pada malam sebelum meninggal, Abu Bakar bertanya kepada putrinya Aisyah, “Berapa jumlah kain kafan yang digunakan sebagai kain kafan Nabi?”. Aisyah menjawab, “Tiga” Seketika itu juga ia bilang bahwa, “Dua lembar yang masih melekat di badannya supaya di cuci, sedangkan satu lembar kekurangannya, yaitu lembar ketiga, boleh dibeli”. Dengan berurai air mata Aisyah berkata bahwa dia tidaklah sedemikian miskinnya, sehingga tidak mampu membeli kain kafan untuk ayahnya. Khalifah menjawab, “kain yang baru lebih berguna bagi orang yang hidup daripada bagi orang yang meninggal”.


    Banyak penghargaan yang diberikan kepada Khalifah Abu Bakar tentang kepandaiannya dan kebaikan hatinya. Baik kawan maupun lawan memuji kesetiaannya kepada agamanya, demikian pula watak kesederhanaannya, kejujuran, dan integritas pribadinya. Jurji Zaidan, sejarawan Mesir beragama Kristen menulis: “Zaman khalifah-khalifah yang alim adalah merupakan masa keemasan Islam. Khalifah-khalifah itu terkenal karena kesederhanaannya, kealimannya, dan keadilannya. Ketika Abu Bakar masuk Islam, ia memiliki 40.000 dirham, jumlah yang sangat besar pada waktu itu, akan tetapi ia habiskan semua, termasuk uang yang diperolehnya dari perdagangan, demi memajukan agama Islam. Ketika wafat, tidaklah ia memiliki apa-apa kecuali uang satu dinar. Ia juga jarang sekali menunggangi kudanya. Ia datang ke Madina untuk memimpin sembahyang berjamaah dan kembali ke Sunh di sore hari. Setiap hari Abu Bakar membeli dan menjual domba, dan mempunyai sedikit gembalaan yang sesekali harus ia gembalakan sendiri. 
    
    Sebelum menjadi khalifah, ia telah terbiasa memerah susu domba milik kabilahnya, sehingga ketika ia menjadi khalifah, seorang budak anak perempuan menyesalkan dombanya tidak ada yang memerah lagi. Abu Bakar kemudian meyakinkan anak perempuan itu bahwa ia akan tetap memerah susu dombanya, dan martabat tidak akan mengubah tingkah lakunya. Sebelum wafat, ia memerintahkan menjual sebidang tanah miliknya dan hasil penjualannya dikembalikan kepada masyarakat Muslim sebesar sejumlah uang yang telah ia ambil dari masyarakat sebagai honorarium”. 
    
    Sumber yang dapat diterima mengenai sakitnya Abu Bakar sampai meninggalnya, dengan mengacu kepada putrinya, ummul mukminin Aisyah dan kepada putranya Abdurrahman. Mereka berkata: “Abu Bakar sakit dimulai pada saat hari yang sangat dingin ia mandi, lalu selama lima belas hari ia merasa demam, tidak keluar rumah untuk melaksanakan shalat, ia meminta Ummar Ibn Khattab mengimami shalat.

    Tetapi selama dua minggu dalam sakit sampai wafatnya itu pikiran Abu Bakar selalu tertumpu pada nasib kaum muslimin, selalu membuat perhitungan dengan dirinya, apa yang telah dilakukannya sejak ia memegang pimpinan ummat. Sejak sakitnya itu kuat sekali perasaannya bahwa ajal sudah dekat, dan dia akan bertemu tuhan. Menghadapi itu ia merasa gembira, puas, karena saat itu sudah mencapai usia ketika Rasulullah berpulang ke Rahmatullah, dan dia merasa sudah melaksanakan kewajibannya kepada Allah.[3]

REFERENSI :

[1] H.I.Nurul Aen, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV.PUSTAKA SETIA, 2008), hlm.67-68.
[2] Ibid, 73.
[3] Kh.Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, (Jakarta: PUSTAKA FIRDAUS, 1993),hlm.15-16.


Sumber-sumber Hukum Islam

 Sumber-sumber Hukum Islam      Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Islam merupakan agama yang tegas dan bijaksana dalam menetapkan suatu...