Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq Menjadi Khalifah
Kata “khalifah“ diambil dari bahasa Arab, yang secara harfiah berarti seseorang yang menggantikan kedudukan orang lain karena hilang atau meninggal dunia. Dalam konteks masyarakat Islam kata khalifah berarti pemimpin umat yang menggantikan posisi Rasulullah Saw sebagai pemimpin politik, militer dan segala urusan umat Islam. Sementara itu, kata “Rasyidin” lebih ditekankan pada empat khalifah pasca Rasulullah Saw. Mulai dari Abu Bakar Ash-Shiddiq sampai Ali Ibn abi Thalib yang dipandang sebagai tokoh Islam yang mengagumkan dan adil. Dalam pembahasan ini dibahas secara terperincih salah satu khalifah, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq.
1. Biografi Abu Bakar As-Shiddiq
Abu bakar ash-shiddiq (nama lengkapnya Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah bin Utsman bin Amr bin Masud bin Taim bin Murrah bin ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr At-Taimi Al-Qurasyi. Berarti silsilahnya dengan nabi bertemu pada Murrah bin ka’ab). Dilahirkan pada tahun 573 M. dia dilahirkan di lingkungan suku yang sangat berpengaruh dan suku yang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar. Ayahnya bernama Utsman (Abu Kuhafah) bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Saad bin Laym bin Mun’ah bin Ka’ab bin Lu’ay,berasal dari suku Quraisy, sedangkan ibunya bernama Ummu Al-Khair Salmah binti Sahr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym bin Murrah. Garis keturunannya bertemu pada neneknya, yaitu Ka’ab bin Sa’ad.
Abu bakar merupakan orang yang pertama kali masuk Islam ketika Islam mulai didakwakan. Baginya, tidaklah sulit untuk mempercayai ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW. Dikarenakan sejak kecil, ia telah mengenal keagungan Muhammad. Setelah masuk Islam, ia tidak segan untuk menumpahkan segenap jiwa dan harta bendanya untuk Islam. Tercatat dalam sejarah, dia pernah membela Nabi tatkala Nabi disakiti oleh suku Quraisy, menemani Rasul Hijrah, membantu kaum yang lemah dan memerdekakannya, seperti terhadap Bilal, setia dalam setiap peperangan dan lain-lain.
2. Awal Mula Abu Bakar di Angkat Menjadi Khalifah
Pengorbanan Abu Bakar terhadap Islam tidak dapat diragukan. Ia juga pernah ditunjuk Rasul sebagai penggantinya untuk mengimami shalat ketika Nabi sakit. Nabi Muhammad SAW pun wafat tak lama setelah kejadian tersebut. Karena tidak ada pesan mengenai siapa penggantinya di kemudian hari, pada saat jenazah Nabi belum dimakamkan di antara umat Islam, ada yang mengusulkan untuk cepat-cepat memikirkan pengganti Nabi. Itulah perselisihan pertama terjadi pasca Nabi wafat. Perselisihan tersebut berlanjut ke perselisihan kedua saqifah Bani Sa’idah, pada kaum Anshar ini menunjukkan bahwa kaum Anshar lebih memiliki rasa kepedulian dalam hal berpolitik dibandingkan kaum Muhajirin.[1]
Aturan-aturan yang jelas tentang pengganti Nabi tidak ditemukan, yang ada hanyalah sebuah mandate yang diterima Abu Bakar menjelang wafatnya Nabi untuk menjadi badal imam shalat. Sesuatu yang masih merupakan tanda Tanya terhadap mandate tersebut.
Baca Juga : Biografi Umar bin Khaththab Khulafaur Rasyddin Kedua
Dalam pertemuan tersebut, sebelum kaum Muhajirin datang, golongan Khajraz telah sepakat mencalonkan Salad bin Ubadah, sebagai pengganti Rasul. Akan tetapi, suku Aus belum menjawab atas pandangan tersebut, sehingga terjadilah perdebatan di antara mereka dan pada akhirnya, Sa’ad bin Ubadah yang tidak menginginkan perpecahan mengatakan bahwa ini merupakan awal dari perpecahan. Melihat situasi yang memanas, kemudian Abu Ubaidah mengajak kaum Anshar agar bersikap tenang dan toleran, kemudian Basyir bin Sa’ad Abi An-Nu’man bin Basyir berpidato dengan mengatakan agar tiddak memperpanjang masalah ini. Dalam keadaan yang sudah tenang ini, Abu Bakar berpidato, “ini Umar dan Abu Ubaidah, siapa yang kamu kehendaki di antara mereka berdua, maka bai’atah”.
Baik Umar maupun Abu Ubaidah merasa keberatan ataas ucapan Abu Bakar dengan mempertimbangkan berbagai alasan, diantaranya adalah ditunjuknya Abu Bakar lebih berhak sebagai pengganti Rasul dalam imam shalat dan ini membuat Abu Bakar lebih berhak menjadi pengganti Rasulullah SAW. Sebelum keduanya membai’at Abu Bakar, Basyir bin Sa’ad mendahuluinya, kemudian diikuti Umar dan Abu Ubaidah secara serentak oleh semua hadirin.
Dari paparan diatas, terlihat bahwa Abu Bakar dipilih secara aklamasi, walaupun tokoh-tokoh lain tidak ikut membai’atnya, misalnya Ali bin Abi Thalib Abbas, Thalhah, dan Zubair yang menolak dengan hormat. Keadaan penolakan tersebut akhirnya baru muncul setelah pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Kelompok lain yang tidak menyetujuinya ialah Anshar Salad bin Ubadah meskipun pada akhirnya tenggelam dalam sejarah. Pembahasan tentang khalifah ini pada akhirnya menimbulkan berbagai aliran pemikiran dalam islam. Dengan terpilihnya Abu Bakar serta pembai’atannya, resmilah berdiri kekhalifahan pertama didunia Islam.
3. Peradaban Islam Pada Masa Abu Bakar
Bentuk peradaban yang paling besar dan luar biasa dan merupakan satu kerja yang dilakukan pada masa pemerintahan Abu Bakar adalah penghimpunan Al-Qur’an. Abu Bakar memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk menghimpun Al-Qura’an dari pelepah kurma, kulit binatang, dan dari hapalan kaum muslimin. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menjaga kelestarian Al-Qur’an pada perang yamamah. Umarlah yang mengusulkan pertama kali penghimpunan Al-Qur’an ini. Sejak itulah Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf. Inilah untuk pertama kalinya Al-Qur’an dihimpun.
Selain itu, peradaan Islam yang terjadi pada praktik pemerintahan Abu Bakar Dalam bidang pranata social ekonomi Mewujudkan keadilan dan kesejahteraan social rakyat. Untuk kemaslahatan rakyat ini, ia mengelola zakat, infak, dan sedekah yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah harta rampasan perang dan jizyah dari warga Negara non-muslim, sebagai sumber pendapatan Baitul Mal. Penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapat negara ini dibagikan untuk kesejahteraan para tentara, gaji para pegawai Negara, dan kepada rakyat yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar sebagai khalifah tidak pernah mengambil atau menggunakan uang dari Baitul Mal. Karena menurutnya, ia tidak berhak mengambil sesuatu dari Baitul Mal umat Islam. Oleh Karena itu, selama ia menjadi khalifah, ia tetap berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.
Hal lain yang terjadi pada peradaban Islam pada masa Abu Bakar adalah ia telah mensuksesi kepemimpinan dalam menunjuk Umar bin Khathab sebagai penggantinya Ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar untuk menunjuk atau mencalinkan Umar menjadi khalifah. Factor utama adalah kekhawatirannya akan terulang kembali peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Saidah yang nyaris menyulut umat Islam ke jurang perpecahan, bila tidak menunjuk seseorang yang akan menggantikannya. Pada saat itu, antara kaum Anshar dan Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak untuk menjadi khalifah. Lagi pula, pada saat itu, umat Islam dibawah pimpinannya baru saja selesai menumpas kaum murtad dan sebagian pasukan mujahidin sedang bertempur di luar kota Madinah. Jika umat Islam terpecah dalam situasi demikian dalam memperebutkan jabatan khalifah, tentu akibatnya lebih fatal daripada menghadapi soal pemberontakan orang-orang murtad.
Jadi, dengan jalan penunjukkan itu, ia ingin ada kepastian yang akan menggantikannya sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi menimpa umat Islam. Artinya, dari segi politik dan pertahanan keamanan bila pergantian pimpinan tiba saatnya. Mengapa pilihannya jatuh kepada Umar? Karena menurut pendapatnya, Umar adalah sahabat senior yang mampu dan bijaksana memimpin Negara. Lagi pula, Umar disegani oleh rakyat dan mempunyai sifat-sifat terpuji. Penunjukkan itu terjadi ketika Abu Bakar mendadak jatuh sakit pada tahun ketiga masa jabatannya.[2]
4. Wafatnya Abu Bakar As-Shiddiq
Abu Bakar meninggal pada 23 Agustus 634 Masehi dalam usia 63 Tahun, dan ke-Khalifahannya berlangsung selama 2 tahun 3 bulan 11 hari. Jenazahnya dimakamkan disamping makam Nabi.
Pada waktu akhir perjalanan hidupnya, Abu Bakar bertanya kepada petugas Baitul Mal, berapa jumlah yang telah ia ambil sebagai uang tunjangan. Petugas itu memberi tahu bahwa beliau telah mengambil 6.000 dirham selama dua setengah tahun kekhalifahannya. Ia lalu memerintahkan agar tanah miliknya dijual dan seluruh hasilnya diberikan kepada Baitul Mal. Amanatnya sebelum mangkat itu telah dilaksanakan. Dan untuk seekor unta dan sepotong baju seharga seperempat rupee milik pribadinya, ia amanatkan agar diberikan kepada khalifah baru setelah ia meninggal dunia. Ketika barang-barang tersebut dibawa kepada yang berhak, Umar yang baru saja menerima jabatan sebagai khalifah mengeluarkan air mata dan berkata, “Abu Bakar, engkau telah membuat tugas penggantimu menjadi sangat sulit”.
Pada malam sebelum meninggal, Abu Bakar bertanya kepada putrinya Aisyah, “Berapa jumlah kain kafan yang digunakan sebagai kain kafan Nabi?”. Aisyah menjawab, “Tiga” Seketika itu juga ia bilang bahwa, “Dua lembar yang masih melekat di badannya supaya di cuci, sedangkan satu lembar kekurangannya, yaitu lembar ketiga, boleh dibeli”. Dengan berurai air mata Aisyah berkata bahwa dia tidaklah sedemikian miskinnya, sehingga tidak mampu membeli kain kafan untuk ayahnya. Khalifah menjawab, “kain yang baru lebih berguna bagi orang yang hidup daripada bagi orang yang meninggal”.
Banyak penghargaan yang diberikan kepada Khalifah Abu Bakar tentang kepandaiannya dan kebaikan hatinya. Baik kawan maupun lawan memuji kesetiaannya kepada agamanya, demikian pula watak kesederhanaannya, kejujuran, dan integritas pribadinya. Jurji Zaidan, sejarawan Mesir beragama Kristen menulis: “Zaman khalifah-khalifah yang alim adalah merupakan masa keemasan Islam. Khalifah-khalifah itu terkenal karena kesederhanaannya, kealimannya, dan keadilannya. Ketika Abu Bakar masuk Islam, ia memiliki 40.000 dirham, jumlah yang sangat besar pada waktu itu, akan tetapi ia habiskan semua, termasuk uang yang diperolehnya dari perdagangan, demi memajukan agama Islam. Ketika wafat, tidaklah ia memiliki apa-apa kecuali uang satu dinar. Ia juga jarang sekali menunggangi kudanya. Ia datang ke Madina untuk memimpin sembahyang berjamaah dan kembali ke Sunh di sore hari. Setiap hari Abu Bakar membeli dan menjual domba, dan mempunyai sedikit gembalaan yang sesekali harus ia gembalakan sendiri.
Sebelum menjadi khalifah, ia telah terbiasa memerah susu domba milik kabilahnya, sehingga ketika ia menjadi khalifah, seorang budak anak perempuan menyesalkan dombanya tidak ada yang memerah lagi. Abu Bakar kemudian meyakinkan anak perempuan itu bahwa ia akan tetap memerah susu dombanya, dan martabat tidak akan mengubah tingkah lakunya. Sebelum wafat, ia memerintahkan menjual sebidang tanah miliknya dan hasil penjualannya dikembalikan kepada masyarakat Muslim sebesar sejumlah uang yang telah ia ambil dari masyarakat sebagai honorarium”.
Sumber yang dapat diterima mengenai sakitnya Abu Bakar sampai meninggalnya, dengan mengacu kepada putrinya, ummul mukminin Aisyah dan kepada putranya Abdurrahman. Mereka berkata: “Abu Bakar sakit dimulai pada saat hari yang sangat dingin ia mandi, lalu selama lima belas hari ia merasa demam, tidak keluar rumah untuk melaksanakan shalat, ia meminta Ummar Ibn Khattab mengimami shalat.
Tetapi selama dua minggu dalam sakit sampai wafatnya itu pikiran Abu Bakar selalu tertumpu pada nasib kaum muslimin, selalu membuat perhitungan dengan dirinya, apa yang telah dilakukannya sejak ia memegang pimpinan ummat. Sejak sakitnya itu kuat sekali perasaannya bahwa ajal sudah dekat, dan dia akan bertemu tuhan. Menghadapi itu ia merasa gembira, puas, karena saat itu sudah mencapai usia ketika Rasulullah berpulang ke Rahmatullah, dan dia merasa sudah melaksanakan kewajibannya kepada Allah.[3]
REFERENSI :
[1] H.I.Nurul Aen, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV.PUSTAKA SETIA, 2008), hlm.67-68.
[2] Ibid, 73.
[3] Kh.Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, (Jakarta: PUSTAKA FIRDAUS, 1993),hlm.15-16.
No comments:
Post a Comment