Saturday, August 15, 2020

Kedudukan Wali Dalam Pernikahan Pengertian dan Syarat-syaratnya

Kedudukan Wali Dalam Pernikahan Pengertian Syarat, Serta Tata Tertibnya

    Manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri.

    Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai tanpa suatu halangan apapun. Melalui artikel ini penulis coba menjelaskan sedikit tentang pengertian, syarat, serta kedudukan wali dalam pernikahan menurut perspektif Islam.

Kedudukan Wali dalam Pernikahan


1. Pengertian Wali Dalam Pernikahan

    Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria). Wali dalam nikah adalah orang yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).[1]

    Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.

2. Fungsi Wali Dlam Pernikahan

    Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal), maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan wanita, walaupun ia dimintakan persetujuannya oleh walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri.

    Suatu perkawinan sangat mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan seseorang. Dan dengan adanya anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering mendahulukan perasaan daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat melakukan sesuatu yang menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa walinya.

    Disamping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuanlah yang mengucapkan ijab (penawaran), sedang pengantin laki-laki yang diperintahkan mengucapkan qabul (penerimaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrahnya) adalah pemalu (isin-Jawa), maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya. Hal ini berarti bahwa fungsi wali dalam pernikahan adalah untuk menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucapkan ijab dalam akad nikahnya.

3. Macam-macam Wali dalam Pernikahan

Secara umum wali dalam pernikahan terdapat 3 macam, yaitu :

  • Wali Nasab
    Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Imam Syafi`I berpendapat bahwa anak laki-laki tidak termasuk ashabah seorang wanita. Menurut Imam Syafi`i, suatu pernikahan baru dianggap sah, bila dinikahkan oleh wali yang dekat lebih dulu. Bila tidak ada yang dekat, baru dilihat urutannya secara tertib. Maka selanjutnya bila wali jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali.[2] Wali nasab urutannya adalah sebagai berikut:
Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas.
Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak).
Saudara laki-laki sebapak.
  1. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
  2. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
  3. Paman (saudara dari bapak) kandung.
  4. Paman (saudara dari bapak) sebapak.
  5. Anak laki-laki paman kandung.
  6. Anak laki-laki paman sebapak.[3]

  • Wali Hakim

Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila:

  1. Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
  2. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya..
  3. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
  4. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
  5. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
  6. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
  7. Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
  8. Walinya gila atau fasik.
    Namun berdasarkan dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama Republik Indonesia sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan.

  • Wali Muhkam

    Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki. 
    Adapun cara pengangkatannya secara tahkim adalah: calon suami mengucapkan tahkim, “Saya angkat Bapak/Saudara untuk menikahkan saya pada si … (calon istri) dengan mahar dan putusan Bapak/Saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, “Saya terima tahkim ini.”. Wali muhakam terjadi apabila:
  1. Wali nasab tidak ada,
  2. Wali nasab gaib atau bepergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada wakilnya di situ.
  3. Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).
  • Wali Maula
    Wali maula, yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan di sini yang dimaksud terutama adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.

    Mayoritas ulama berpendapat bahwa urutan wali adalah sebagai berikut, Ayah, Kakek ke atas kemudian Anak Laki-laki,  Cucu dari anak laki-laki, kearah bawah. Kemudian saudara laki-laki (kandung atau Seayah)  dan anak-anak  mereka.  Kemudian Saudara laki-laki Ayah, kemudian anak-anak mereka.

    Ada perbedan pendapat di kalangan ulama pada beberapa keadaan , sebagai berikut: Sebagian ulama mendahulukan perwalian anak laki-laki (bagi janda) dibanding ayah, Sebagaimana mereka juga lebih di dahulukan di dalam mendapat sisa harta warisan (ashobah). Ini pendapat yang lebih dikenal dari pendapat Malik, Dan juga ini pendapat Ishaq, Al-Anbary, Ibnul Mundzir, Abu Yusuf, Abu Hanifah Rahimahumullah Dan Mayoritas ulama menjawab pendapat ini dengan jawaban bahwa seorang ayah lebih paham tentang maslahat untuk puterinya dibanding anak wanita tersebut dan yang kedua bahwa perwalian ayah telah tsabit ditetapkan dalam syariat ketika sang wanita tersebut masih belum memiliki anak, maka dibutuhkan dalil untuk mengubah urutan perwalian ini. Dan pendapat mayoritas ulama lebih kuat, dan ini adalah pendapat Ibnu Utsaimin  Rahimahullah.

    Adapun apabila wanita tersebut tidak memiliki wali Ashobah baik dari Nasab maupun dari wali yang dahulu membebaskannya dari perbudakan, maka para ulama juga berbeda pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa walinya adalah Hakim, ini adalah pendapat Malik, Ahmad, Asy-Syafi’I, dan juga satu riwayat dari Abu HanifahRahimahumullah. Dan ini adalah pendapat yang benar, berdasarkan Hadits :

فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

Artinya :“Maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 2709 ).


4. Syarat-syarat Wali dalam Pernikahan

Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :
  • Islam
    Wali harus seorang Muslim, telah dinukil Ijma’ oleh Ibnul Mundzir dalam perkara ini.  Berdasakan Firman Allah ta’ala :

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

Artinya :“Dan laki-laki yang beriman dan wanita-wanita yang beriman sebagian adalah pemimpin bagi yang sebagian lainnya” (QS. At-Taubah : 71)

 وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلً

Artinya : “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141).
  • Baligh
    Ini adalah pendapat Jumhur Ulama dan ini adalah pendapat yang Shohih. Karena Allah Azza wa jalla telah membatasi anak-anak yang belum baligh di dalam Menggunakan hartanya maka perkara perwalian pernikahan lebih tinggi dibandingkan perwalian harta.
  • Berakal
Yang pastinya syarat menjadi wali adalah orang tersebut harus berakal.
  • Laki-laki
    Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda “wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya”(HR. Ibnu Majah dan Daruquthni ).
  • Adil
    Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.[4]  Ada pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW yang  Artinya: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (HR.Ahmad Ibn Hanbal).
  • Tidak Sedang Ihram atau Umrah
    Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut : Syarat-syarat wali ialah: merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam.

    Pada dasarnya wali Nikah adalah orang yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikah tanpa adanya wali. Kedudukan Wali Nikah ialah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah tanpa wali laki-laki.


REFERENSI : 

[1] Abdurrahman Al Jaziri, Al- Fiqh ‘ala Mazaahib Al- Arba’ah, Beirut : Daar Al- Fikr, Juz 4, hal.29.
[2] Slamet Abidin, dkk, FIQIH MUNAKAHAT, Bandung : Pustaka Setia, 1999 hal.90.
[3] M. Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Empat Mazhab, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996, hal. 55.
[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995, jilid. 2, hal.82.

No comments:

Post a Comment

Sumber-sumber Hukum Islam

 Sumber-sumber Hukum Islam      Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Islam merupakan agama yang tegas dan bijaksana dalam menetapkan suatu...